Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan
para sahabatnya.
Bagi orang yang mendengar adzan disunnahkan menirukan suara
muadzin. Jika muadzin melantunkan Allahu Akbar – Allahu Akbar, orang yang
mendengarnya mengucapkan Allahu Akbar –Allahu Akbar. Dan begitu seterusnya
terhadap lantunan adzan. Kecuali pada hai’alatain (hayya ‘alash
Shalah dan Hayya ‘Alal Falah), maka ia menjawab Laa
Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ
الْمُؤَذِّنُ
“Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkan
seperti yang diucapkan mu’adzin.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat muslim disebutkan dari Umar Radhiyallahu
'Anhu tentang keutamaan mengucapkan kalimat perkalimat seperti
ucapan muadzin kecuali al-Hai’alatain (dua hai’alah),
hendaknya ia mengucapkan,
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ
(Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah -Tidak
ada daya (untuk berbuat) dan kekuatan (untuk melakukan sesuatu) kecuali dengan
izin Allah-)
Muadzin Lantunkan Ash-Sholatu Khairum Minan Naum
Berdasarkan keumuman hadits dari Abu Sa’id al-Khudri di atas maka
jika muadzin mengucapkan Ash-Sholatu Khairum Minan Naum,
maka orang yang medengarnya mengucapkan Ash-Sholatu Khairum Minan Naum juga.
Yang dikecualikan dari keumuman itu hanya Hayya ‘Alash Sholah dan Hayya ‘Alal Falaah,
maka selain dua kalimat itu tetap berada pada keumuman dan kemutlakannya. Yaitu
mengikuti apa yang diucapkan muadzin.
Para ulama berbeda pendapat tentang kapan disyariatkan untuk
dibaca. Sebagiannya berpendapat, di baca pada adzan awal sebelum masuh waktu
shubuh (sering diistilahkan adzan awal yang dikumandangkan di akhir malam).
Bahkan ada yang sangat keras melarangnya untuk dibaca pada adzan shubuh,
seperti syaikh al-Albani. Beliau menyatakan, membaca tashwib pada adzan kedua
(masuk waktu Shubuh) adalah bid’ah yang menyalahi sunnah. (lihat: Tamam
al-Minnah: 148)
Ini didasarkan kepada redaksi adzan awal dalam hadits dari Abu
Mahdzurah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:
كنت أؤذن لرسول الله صلى الله عليه وسلم , وكنت أقول في أذان الفجر الأول : " حي على الفلاح ، الصلاة خير من
النوم ، الصلاة خير من النوم ، الله أكبر الله أكبر ، لا إله إلا الله
“Aku mengumandangkan adzan untuk Rasulullah Shallallahu
'Alaihi Wasallam, aku membaca dalam adzan fajar yang pertama, Hayya
‘alal falaah, al-shalatu khairum minan naum, al-shalatu khairum minan naum, Allaahu
akbar Allaahu Akbar Laa Ilaaha Illallaah.” (HR. Abu Dawud &
al-Nasai, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Sementara jumhur (mayoritas ulama) berpendapat, tashwib
disyariatkan pada adzan Shubuh. Lajnah Daimah, Komisi Fatwa kerajaan Saudi
Arabia memilih pendapat ini, bahwa tatswib dibaca pada adzan yang sudah masuk
waktu. Ulama Lajnah memahami adzan awal (pertama) yang disebutkan pada hadits
tentangnya adalah dinisbatkan kepada iqomah sebagai adzan kedua. Adzan saat
sudah masuk waktu itu adzan awal, sedangkan iqomah adzan kedua.
“Ya, selayaknya membaca tatswib pada adzan awal (pertama) shubuh
sebagai pelaksanaan terhadap perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dan
yang Nampak jelas dari hadits tersebut, adzan tersebut adalah adzan saat terbit
fajar shadiq. Disebut awal karena dinisbatkan kepada iqomah. Itulah adzan yang
syar’i, sebagaimana tertera dalam hadits, “antara dua adzan ada shalat”. Maksud
adzan pertama bukan yang dikumandangkan sebelum tampak fajar shadiq. Adzan
tersebut disyariatkan pada waktu malam untuk membangunkan orang yang tidur dan
supaya orang yang shalat kembali. Bukan adzan untuk pemberitahuan masuk fajar.
Siapa yang meneliti hadits-hadits tentang tatswib tidak akan memahaminya
kecuali bahwa tatswib itu pada adzan untuk memberitahukan waktu fajar, bukan
adzan pada waktu malam menjelang fajar.” Selesai. (Fatawa Lajnah Daimah: 6/63)
Masalah ini adalah masalah ijtihad. Kalangan ulama berbeda
pendapat tentangnya. Diharapkan kaum muslimin berlapang dada dalam masalah
semacam ini. Tidak boleh mencela kepada yang berbeda pendapat dengannya. Siapa
yang menilai pendapat pertama lebih kuat maka silahkan ia mengamalkannya. Siapa
yang menilai pendapat kedua yang lebih kuat silahkan ia mengamalkannya. Tidak
boleh saling mengingkari terhadap pendapat orang lain. Apalagi saling
membid’ahkan dan menyesatkan. Walaupun demikian, kami menilai bahwa pendapat
jumhur jauh lebih kuat, dan lebih tepat diamalkan untuk masyarakat Indonesia.
Sebagian ulama ada yang berpendapat, orang yang mendengar itu
membaca Shodaqta wa Bararta. Namun jawaban
ini tidak memiliki landasan riwayat yang shahih. Padahal perkara menjawab adzan
adalah bagian ibadah yang tak diketahui kecuali dengan dalil shahih. Wallahu
A’lam.
0 comments:
Post a Comment