Tuesday, 26 April 2016

Menjawab Adzan Subuh, Ash-Sholatu Khairum Minan Naum

Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulullah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya.

Bagi orang yang mendengar adzan disunnahkan menirukan suara muadzin. Jika muadzin melantunkan Allahu Akbar – Allahu Akbar, orang yang mendengarnya mengucapkan Allahu Akbar –Allahu Akbar. Dan begitu seterusnya terhadap lantunan adzan. Kecuali pada hai’alatain (hayya ‘alash Shalah dan Hayya ‘Alal Falah), maka ia menjawab Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah.
Dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bersabda,


إِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ الْمُؤَذِّنُ
Apabila kalian mendengar adzan maka ucapkan seperti yang diucapkan mu’adzin.” (Muttafaq ‘Alaih)
Dalam riwayat muslim disebutkan dari Umar Radhiyallahu 'Anhu tentang keutamaan mengucapkan kalimat perkalimat seperti ucapan muadzin kecuali al-Hai’alatain (dua hai’alah), hendaknya ia mengucapkan,
لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاَللَّهِ
(Laa Haula Walaa Quwwata Illaa Billaah -Tidak ada daya (untuk berbuat) dan kekuatan (untuk melakukan sesuatu) kecuali dengan izin Allah-)

Muadzin Lantunkan Ash-Sholatu Khairum Minan Naum
Berdasarkan keumuman hadits dari Abu Sa’id al-Khudri di atas maka jika muadzin mengucapkan Ash-Sholatu Khairum Minan Naum, maka orang yang medengarnya mengucapkan Ash-Sholatu Khairum Minan Naum juga. Yang dikecualikan dari keumuman itu hanya Hayya ‘Alash Sholah dan Hayya ‘Alal Falaah, maka selain dua kalimat itu tetap berada pada keumuman dan kemutlakannya. Yaitu mengikuti apa yang diucapkan muadzin. 

Para ulama berbeda pendapat tentang kapan disyariatkan untuk dibaca. Sebagiannya berpendapat, di baca pada adzan awal sebelum masuh waktu shubuh (sering diistilahkan adzan awal yang dikumandangkan di akhir malam). Bahkan ada yang sangat keras melarangnya untuk dibaca pada adzan shubuh, seperti syaikh al-Albani. Beliau menyatakan, membaca tashwib pada adzan kedua (masuk waktu Shubuh) adalah bid’ah yang menyalahi sunnah. (lihat: Tamam al-Minnah: 148)
Ini didasarkan kepada redaksi adzan awal dalam hadits dari Abu Mahdzurah Radhiyallahu 'Anhu, ia berkata:

كنت أؤذن لرسول الله صلى الله عليه وسلم , وكنت أقول في أذان الفجر الأول : " حي على الفلاح ، الصلاة خير من النوم ، الصلاة خير من النوم ، الله أكبر الله أكبر ، لا إله إلا الله

“Aku mengumandangkan adzan untuk Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam, aku membaca dalam adzan fajar yang pertama, Hayya ‘alal falaah, al-shalatu khairum minan naum, al-shalatu khairum minan naum, Allaahu akbar Allaahu Akbar Laa Ilaaha Illallaah.” (HR. Abu Dawud & al-Nasai, dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud)
Sementara jumhur (mayoritas ulama) berpendapat, tashwib disyariatkan pada adzan Shubuh. Lajnah Daimah, Komisi Fatwa kerajaan Saudi Arabia memilih pendapat ini, bahwa tatswib dibaca pada adzan yang sudah masuk waktu. Ulama Lajnah memahami adzan awal (pertama) yang disebutkan pada hadits tentangnya adalah dinisbatkan kepada iqomah sebagai adzan kedua. Adzan saat sudah masuk waktu itu adzan awal, sedangkan iqomah adzan kedua.

“Ya, selayaknya membaca tatswib pada adzan awal (pertama) shubuh sebagai pelaksanaan terhadap perintah Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasallam. Dan yang Nampak jelas dari hadits tersebut, adzan tersebut adalah adzan saat terbit fajar shadiq. Disebut awal karena dinisbatkan kepada iqomah. Itulah adzan yang syar’i, sebagaimana tertera dalam hadits, “antara dua adzan ada shalat”. Maksud adzan pertama bukan yang dikumandangkan sebelum tampak fajar shadiq. Adzan tersebut disyariatkan pada waktu malam untuk membangunkan orang yang tidur dan supaya orang yang shalat kembali. Bukan adzan untuk pemberitahuan masuk fajar. Siapa yang meneliti hadits-hadits tentang tatswib tidak akan memahaminya kecuali bahwa tatswib itu pada adzan untuk memberitahukan waktu fajar, bukan adzan pada waktu malam menjelang fajar.” Selesai. (Fatawa Lajnah Daimah: 6/63)

Masalah ini adalah masalah ijtihad. Kalangan ulama berbeda pendapat tentangnya. Diharapkan kaum muslimin berlapang dada dalam masalah semacam ini. Tidak boleh mencela kepada yang berbeda pendapat dengannya. Siapa yang menilai pendapat pertama lebih kuat maka silahkan ia mengamalkannya. Siapa yang menilai pendapat kedua yang lebih kuat silahkan ia mengamalkannya. Tidak boleh saling mengingkari terhadap pendapat orang lain. Apalagi saling membid’ahkan dan menyesatkan. Walaupun demikian, kami menilai bahwa pendapat jumhur jauh lebih kuat, dan lebih tepat diamalkan untuk masyarakat Indonesia.

Sebagian ulama ada yang berpendapat, orang yang mendengar itu membaca Shodaqta wa Bararta. Namun jawaban ini tidak memiliki landasan riwayat yang shahih. Padahal perkara menjawab adzan adalah bagian ibadah yang tak diketahui kecuali dengan dalil shahih. Wallahu A’lam.

0 comments:

Post a Comment