Pandangan Islam terhadap Masalah Perburuhan
Problematika perburuhan yang saat
ini menjadi pemandangan sehari-hari kita, tidak pernah ada dalam penataan
sistem Islam. Dalam Daulah Khilafah Islamiyah semua bibit sengketa buruh dan
pengusaha ditiadakan. Karenanya bisa dikatakan dengan menerapkan sistem Islam,
problem perburuhan sudah diaborsi sejak jauh hari sebelum lahir dan berkembang!
Terkait ini, Islam menata dua
aspek dengan tatanan regulasi sedemikian sehingga tidak muncul problem
perburuhan. Pertama, aspek mikro terkait kontrak kerja antara buruh dan
pengusaha. Dengannya akan terjawab bukan hanya besaran upah, namun juga masalah
kepastian kerja (PHK) dan besarnya pesangon. Kedua, aspek makro menyangkut hak
setiap orang, termasuk buruh untuk memperoleh kesejahteraan. Penyelesaian aspek
ini, akan menempatkan buruh dan pengusaha pada posisi tawar yang semestinya.
Keterbatasan lapangan kerja, rendahnya SDM dan rendahnya kesejahteraan hidup
pekerja, serta tidak terpenuhi jaminan hidup dan tunjangan sosial akan
mendapatkan solusinya sendiri tanpa merugikan salah satu pihak, buruh maupun
pengusaha.
Hak Buruh dalam Islam
Pertama, Islam
memposisikan pembantu sebagaimana saudara majikannya. Dari Abu Dzarradhiallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِخْوَانُكُمْ خَوَلُكُمْ ، جَعَلَهُمُ اللهُ تَحْتَ
أَيْدِيكُمْ
“Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan
mereka dibawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut
pembantu sebagaimana saudara majikan agar derajat mereka setara dengan saudara.
Kedua, beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang memberikan beban tugas kepada pembantu
melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan
agar sang majikan turut membantunya.
Dalam hadis Abu Dzar radhiallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلاَ تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ، فَإِنْ
كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
“Janganlah kalian membebani mereka (budak), dan
jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari
no. 30)
Ketiga, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji
pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari Abdullah bin Umar radhiallahu
‘anhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ
عَرَقُهُ
“Berikanlah upah pegawai (buruh), sebelum kering
keringatnya.” (HR. Ibn Majah dan dishahihkan al-Albani).
Keempat, Islam
memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau
pegawainya. Dalam hadis qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan, bahwa Allah
berfirman:
ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ…
وَرَجُلٌ اسْتَأْجَرَ أَجِيرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ وَلَمْ يُعْطِ أَجْرَهُ
“Ada tiga orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada
hari kiamat: … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi
tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR.
Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442)
Bisa Anda bayangkan, di saat kita sangat butuh kepada
ampunan Allah, tetapi justru Allah menjadi musuhnya.
Kelima, Islam
memotivasi para majikan agar meringankan beban pegawai dan pembantunya. Dari
Amr bin Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَا خَفَّفْتَ عَنْ خَادِمِكَ مِنْ عَمَلِهِ كَانَ لَكَ
أَجْرًا فِي مَوَازِينِكَ
“Keringanan yang kamu berikan kepada budakmu, maka
itu menjadi pahala di timbangan amalmu.” (HR. Ibn Hibban dalam shahihnya
dan sanadnya dinyatakan shahih oleh Syuaib al-Arnauth).
Keenam, Islam
memotivasi agar para majikan dan atasan bersikap tawadhu yang berwibawa dengan
buruh dan pembantunya. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
مَا اسْتَكْبَرَ مَنْ أَكَلَ مَعَهُ خَادِمُهُ، وَرَكِبَ
الْحِمَارَ بِالأَسْوَاقِ، وَاعْتَقَلَ الشَّاةَ فَحَلَبَهَا
“Bukan orang yang sombong, majikan yang makan
bersama budaknya, mau mengendarai himar (kendaraan kelas bawah) di pasar, mau
mengikat kambing dan memerah susunya.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad
568, Baihaqi dalam Syuabul Iman 7839 dan dihasankan al-Albani).
Ketujuh, Islam
menekan semaksiamal mungkin sikap kasar kepada bawahan. Seorang utusan Allah,
yang menguasai setengah dunia ketika itu, tidak pernah main tangan dengan
bawahannya. Aisyah menceritakan:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللهِ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلاَ
امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا…
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
pernah memukul dengan tangannya sedikit pun, tidak kepada wanita, tidak pula
budak.” (HR. Muslim 2328, Abu Daud 4786).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
pernah menjumpai salah seorang sahabat yang memukul budak lelakinya. Tepatnya
ia sahabat Abu Mas’ud Al-Anshari. Seketika itu, Nabishallallahu ‘alaihi wa
sallam mengingatkan sahabat itu dari belakang:
اعْلَمْ أَبَا مَسْعُودٍ، لَلَّهُ أَقْدَرُ عَلَيْكَ
مِنْكَ عَلَيْهِ
“Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, Allah lebih kuasa
untuk menghukummu seperti itu, dari pada kemampuanmu untuk menghukumnya.”
Ketika Abu Mas’ud menoleh, dia kaget karena ternyata
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Spontan beliau langsung
membebaskan budaknya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammemujinya:
أَمَا لَوْ لَمْ تَفْعَلْ لَلَفَحَتْكَ النَّارُ
“Andai engkau tidak melakukannya, niscaya neraka
akan melahapmu.” (HR. Muslim 1659, Abu Daud 5159, Tumudzi 1948 dan yang
lainnya).
Bukan manusia yang pemberani ketika dia hanya bisa
menzalimi bawahannya. Bersikap keras kepada bawahan justru merupakan tanda
bahwa dia tidak berwibawa.
Potret Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama
pembantunya
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, adalah diantara
daftar pernah menjadi pembantu Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. Selama
hampir 9 tahun lamanya, sejak di usia 10 tahun, beliau melayani Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Berikut testimoni sahabat Anas :
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari (sewaktu aku masih kanak-kanak),
beliau menyuruhku untuk tugas tertentu. Aku bergumam: Aku tidak mau berangkat.
Sementara batinku meneriakkan untuk berangkat menunaikan perintah Nabi Allah.
Aku pun berangkat, sehingga melewati gerombolan anak-anak yang sedang bermain
di pasar. Aku pun bermain bersama mereka. Tiba-tiba Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam memegang tengkukku dari belakang. Aku lihat beliau,
dan beliau tertawa. Beliau bersabda: “Hai Anas, berangkatlah seperti yang
aku perintahkan.” “Ya, saya pergi sekarang ya Rasulullah.” Jawab Anas.
Beliau memberi kesan:
وَاللهِ! لَقَدْ خَدَمْتُهُ سَبْعَ سِنِينَ أَوْ تِسْعَ
سِنِينَ مَا عَلِمْتُ قَالَ لِشَيْءٍ صَنَعْتُ: لِمَ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا.
وَلاَ لِشَيْءٍ تَرَكْتُ: هَلاَّ فَعَلْتَ كَذَا وَكَذَا
Demi Allah, aku telah melayani Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam selama 7 atau 9 tahun. Saya belum pernah sekalipun
beliau berkomentar terhadap apa yang aku lakukan: “Mengapa kamu lakukan ini?”,
tidak juga beliau mengkritik: “Mengapa kamu tidak lakukan ini?” (HR. Muslim
2310 dan Abu Daud 4773).
Dalam cuplikan sejarah beliau yang lain, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sangat perhatian terhadap kebutuhan pembantunya.
Bahkan sampai pada menyemangati untuk menikah. Dari Rabi’ah bin Ka’b al-Aslami,
beliau menceritakan:
Saya pernah menjadi pelayan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Beliau menawarkan: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak
menikah?” Aku jawab: “Tidak ya Rasulullah, saya belum ingin menikah. Saya
tidak punya dana yang cukup untuk menanggung seorang istri, dan saya tidak
ingin disibukkan dengan sesuatu yang menghalangiku untuk melayani Anda.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berpaling
dariku. Setelah itu beliau bertanya lagi: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak
menikah?” Aku pun menjawab dengan jawaban yang sama: “Tidak ya Rasulullah,
saya belum ingin menikah. Saya tidak punya ….dst.” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallamkemudian berpaling dariku. Kemudian aku ralat ucapanku,
aku sampaikan: “Ya Rasulullah, Anda lebih tahu tentang hal terbaik untukku
di dunia dan akhirat.” Aku bergumam dalam hatiku: “Jika beliau bertanya
lagi, aku akan jawab: Ya.”
Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanya
lagi untuk yang ketiga kalinya: “Wahai Rabi’ah, kamu tidak menikah?” Aku
langsung menjawab: “Ya, perintahkan aku sesuai yang Anda inginkan.”
Selanjutnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku
untuk mendatangi keluarga fulan, salah seorang dari suku Anshar… (HR. Ahmad
16627, Hakim 2718 dan at-Thayalisi 1173).
Tidak hanya bersikap baik dalam urusan dunia, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam juga memperhatikan urusan akhirat pembantunya.
Beliau pernah memiliki seorang pemabntu yang masih remaja beragama Yahudi.
Suatu ketika si Yahudi ini sakit keras. Nabi pun menjenguknya dan
memperhatikannya. Ketika merasa telah mendekati kematian, Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam menjenguknya dan duduk di samping kepalanya. Beliau
ajak anak ini untuk masuk Islam. Si anak spontan melihat bapaknya, seolah ingin
meminta pendapatnya. Si bapak mengatakan: ‘Taati Abul Qosim (nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam).’ Dia pun masuk Islam. Setelah itu ruhnya keluar. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallammeninggalkan rumahnya dengan mengucapkan:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنَ النَّارِ
“Segala puji bagi Dzat Yang telah menyelamatkannya
dari neraka.” (HR. Bukhari 1290).
Demikianlah, betapa indahnya adab yang diajarkan dalam
Islam ketika bermuamalah dnegan pembantu. Sayangnya, banyak kaum muslimin yang
kurang memahami esensi ini, sehingga mereka justru menutupi keindahan ajaran
agamanya sendiri.
Hak Berserikat dan Serikat Pekerja
Tinggal satu masalah. Apakah dalam Islam mengenal Hak Berserikat
dan Serikat Pekerja? Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak
dinafikan oleh Islam. Buruh boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun
buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini
tidak berarti perlu membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal
yang berbeda.
Berkumpul adalah hak yang dijamin
oleh syariah. Namun membentuk serikat pekerja yang dimaksudkan untuk mengurusi
kesejahteraan buruh. Maka ini merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya
boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang
melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada
negara. Karena negaralah yang bertanggung-jawab terhadap kewajiban ri’ayatu
as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.
Penutup
Dengan demikian, berbagai solusi
yang dilakukan saat ini, jika tetap menggunakan model solusi ala sistem
Kapitalis, pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekedar “obat penghilang rasa
sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber
penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini akan
selalu muncul dan muncul, seperti lingkaran “setan”, karena tidak pernah
diselesaikan.
Jika memang benar-benar problem
perburuan ini ingin selesai dan kesejahteraan buruh secara khusus, serta
kesejahteraan setiap warga negara secara umum ingin diwujutkan, maka tidak ada
jalan lain kecuali harus kembali kepada penyelesaian mulia, yakni, penyelesaian
dengan syariat Islam yang diterapkan oleh Daulah Khilafah ala Minhaji
an-Nubuwwah. Karena, konsep dan solusi Islam sebagaimana di atas benar-benar telah
teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama pasti akan
terulang kembali, jika dalam waktu dekat Khilafah berdiri, dan Islam
diterapkan. Karena itu, bisa dikatakan, bahwa Islam tidak mengenal problem
perburuhan. Wallahu
a’lam
0 comments:
Post a Comment